Aku
memiliki seorang sahabat kecil. Seorang yang sederhana dan sangat
rendah hati dengan kehidupannya yang jauh dari keramaian sosialisasi.
Setiap hari ia hanya berjalan-jalan disekitaran pelataran rumahnya,
untuk sekedar menghilangkan penat atau hanya mengisi luangnya saja.
Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk seorang yang kurang beruntung
karena penyakit antraks pada saluran pencernaan yang dideritanya. Ibunya
adalah seorang tua renta tanpa pendidikan yang selayaknya. Karena
itulah ibunya hanya bekerja sebagai seorang kuli angkut di pasar
tradisional di daerah tempatnya tinggal. Sedangkan ayahnya, sudah lama
dia pergi entah kemana sebelum sahabat kecilku lahir ke dunia. Itulah
mengapa sahabat kecilku sangat mencintai ibunya.
Setiap hari sang ibu
berangkat bekerja di pagi buta dan pulang saat mahari meninggi di siang
hari. Biasanya sepulang bekerja sang ibu membawakan beberapa wadah bubur
untuk sahabat kecilku. Bubur dengan beberapa hiasan kecap manis dan
kerupuk yang ditaburkan diatasnya. Itulah benda yang ia sebut “Makanan”
dalam hidupnya. Karena memang hanya itulah yang bisa ia makan dan aman
untuk keadaannya yang sedemikian adanya. Selama bertahun-tahun sahabat
kecilku hanya makan makanan semangkuk bubur di pagi dan sore hari, tanpa
ada hal lain yang lebih beragam yang biasa oranglain sebut makanan
juga. Dari semenjak ia dalam buaian ibunya sampai kini ia sedikit agak
besar, sahabat kecilku hanya tau bahwa “makanan” itu adalah semangkuk
bubur yang ibunya bawa sepulang dari pasar. Mau tidak mau ia harus
mmemakannya, jika tidak mau dan memakan benda lain entah apa yang akan
terjadi dengan perutnya yang tak normal itu. Selama itu ia senantiasa
bahagia menunggu sang ibu pulang bekerja dengan harapan segera ia santap
semangkuk makanan rutin yang tak pernah terganti.
Sampai sekarang,
sahabat kecilku hanya tahu bahwa semangkuk bubur yang ibunya bawa adalah
“makanan” tanpa pernah tahu ada makanan lain yang juga bisa disebut
dengan sebutan “makanan”. Tapi selama itu pula, sahabat kecilku selalu
berbahagia dalam hidupnya karena yang ia tahu hanyalah “makanan” yang
berbentuk semangkuk bubur itu yang setiap hari ia makan.
Itulah
sedikit kisah sahabat kecilku. Dan aku ?? aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada
seorang wanita yang hanya bisa aku nikmati dalam imajinasi dan gambaran
ilusi di kepalaku saja. Jatuh cinta pada seorang yang bahkan aku tak
pernah tahu nada suaranya. Tak pernah tahu senyum indahnya di kenyataan.
Tak pernah tahu apakah suaranya merdu atau menyebalkan. Mencintai
seseorang yang hanya bisa kunikmati gambarnya saja, juga sedikit
percakapan sosial media yang sedikit banyak sangat berpengaruh pada
getaran di dada ini.
Berat, sungguh berat sekali
rasanya menerima kenyataan bahwa aku jatuh cinta pada orang yang aku tak
pernah tahu dia setinggi apa, sesantun apa saat bertemu, atau apapun
itu normalnya dalam sebuah awal dari cerita bodoh bernama Relationship.
Sejanak aku berpikir, mungkin bukan sebutan jatuh cinta di keadaanku
sekarang ini, lebih tepatnya lagi mungkin aku terjebak dalam sebuah
drama cinta yang dangkal. Sebuah keadaan spontanitas yang aku sendiri
tak sadari kapan ia sudah menetap dalam diri ini. Dan sekarang, aku
bingung, bingung karena apa yang kurasakan adalah sebuah cerita dengan
kesia-siaan. Dan tentunya, aku sangat tidak berbahagia dengan semua ini.
Itulah
aku. Aku dengan segudang imajinasi dan ilusi di kepalaku, yang sangat
pusing aku pilahkan salahsatunya untuk mejadi sebuah kepantasan yang
kunamai “cinta sejati”. Karenanya, selamat berbahagialah sahabat
kecilku karena ketidaktahuanmu yang mengunci senyum disetiap
hari-harimu. Jangan seperti aku, yang terjebak dalam wawasan deskripsi
tak jelas beratas namakan “jatuh cinta”. Yang membuatku bingung dan muak
sehingga menunda senyum bahagia dalam perjalananku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar