Laman

Jumat, 19 September 2014

Fiksi Fiktif

Aku memiliki seorang sahabat kecil. Seorang yang sederhana dan sangat rendah hati dengan kehidupannya yang jauh dari keramaian sosialisasi. Setiap hari ia hanya berjalan-jalan disekitaran pelataran rumahnya, untuk sekedar menghilangkan penat atau hanya mengisi luangnya saja. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk seorang yang kurang beruntung karena penyakit antraks pada saluran pencernaan yang dideritanya. Ibunya adalah seorang tua renta tanpa pendidikan yang selayaknya. Karena itulah ibunya hanya bekerja sebagai seorang kuli angkut di pasar tradisional di daerah tempatnya tinggal. Sedangkan ayahnya, sudah lama dia pergi entah kemana sebelum sahabat kecilku lahir ke dunia. Itulah mengapa sahabat kecilku sangat mencintai ibunya.


 Setiap hari sang ibu berangkat bekerja di pagi buta dan pulang saat mahari meninggi di siang hari. Biasanya sepulang bekerja sang ibu membawakan beberapa wadah bubur untuk sahabat kecilku. Bubur dengan beberapa hiasan kecap manis dan kerupuk yang ditaburkan diatasnya. Itulah benda yang ia sebut “Makanan” dalam hidupnya. Karena memang hanya itulah yang bisa ia makan dan aman untuk keadaannya yang sedemikian adanya. Selama bertahun-tahun sahabat kecilku hanya makan makanan semangkuk bubur di pagi dan sore hari, tanpa ada hal lain yang lebih beragam yang biasa oranglain sebut makanan juga. Dari semenjak ia dalam buaian ibunya sampai kini ia sedikit agak besar, sahabat kecilku hanya tau bahwa “makanan” itu adalah semangkuk bubur yang ibunya bawa sepulang dari pasar. Mau tidak mau ia harus mmemakannya, jika tidak mau dan memakan benda lain entah apa yang akan terjadi dengan perutnya yang tak normal itu. Selama itu ia senantiasa bahagia menunggu sang ibu pulang bekerja dengan harapan segera ia santap semangkuk makanan rutin yang tak pernah terganti.

Sampai sekarang, sahabat kecilku hanya tahu bahwa semangkuk bubur yang ibunya bawa adalah “makanan” tanpa pernah tahu ada makanan lain yang juga bisa disebut dengan sebutan “makanan”. Tapi selama itu pula, sahabat kecilku selalu berbahagia dalam hidupnya karena yang ia tahu hanyalah “makanan” yang berbentuk semangkuk bubur itu yang setiap hari ia makan.



Itulah sedikit kisah sahabat kecilku. Dan aku ?? aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya bisa aku nikmati dalam imajinasi dan gambaran ilusi di kepalaku saja. Jatuh cinta pada seorang yang bahkan aku tak pernah tahu nada suaranya. Tak pernah tahu senyum indahnya di kenyataan. Tak pernah tahu apakah suaranya merdu atau menyebalkan. Mencintai seseorang yang hanya bisa kunikmati gambarnya saja, juga sedikit percakapan sosial media yang sedikit banyak sangat berpengaruh pada getaran di dada ini.



Berat, sungguh berat sekali rasanya menerima kenyataan bahwa aku jatuh cinta pada orang yang aku tak pernah tahu dia setinggi apa, sesantun apa saat bertemu, atau apapun itu normalnya dalam sebuah awal dari cerita bodoh bernama Relationship. Sejanak aku berpikir, mungkin bukan sebutan jatuh cinta di keadaanku sekarang ini, lebih tepatnya lagi mungkin aku terjebak dalam sebuah drama cinta yang dangkal. Sebuah keadaan spontanitas yang aku sendiri tak sadari kapan ia sudah menetap dalam diri ini. Dan sekarang, aku bingung, bingung karena apa yang kurasakan adalah sebuah cerita dengan kesia-siaan. Dan tentunya, aku sangat tidak berbahagia dengan semua ini.



Itulah aku. Aku dengan segudang imajinasi dan ilusi di kepalaku, yang sangat pusing aku pilahkan salahsatunya untuk mejadi sebuah kepantasan yang kunamai “cinta sejati”. Karenanya, selamat berbahagialah sahabat kecilku karena ketidaktahuanmu yang mengunci senyum disetiap hari-harimu. Jangan seperti aku, yang terjebak dalam wawasan deskripsi tak jelas beratas namakan “jatuh cinta”. Yang membuatku bingung dan muak sehingga menunda senyum bahagia dalam perjalananku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar